Boyolali, NVN – Kisah pilu mewarnai kehidupan peternak susu di area Gunung Merbabu. Mereka terpaksa membuang susu segar hasil jerih payah mereka karena kuota setoran ke KUD dibatasi. Ironisnya, pembatasan ini disebabkan oleh banjir impor susu yang menguasai pasar dalam negeri.
“Mbak, kenapa susunya dibuang percuma? Mending disedekahkan aja biar lebih bermanfaat,” ujar seorang warganet. “Mbak, kenapa gak dijual murah aja? Kan lumayan tetep dapat duit meskipun seuprit daripada enggak sama sekali,” timpal yang lain. “Mbak, kenapa nggak dibikin yogurt kek, keju kek, kefir kek, apa kek. Kreatif dikit gitu lho,” saran lainnya.
Komentar-komentar tersebut, meskipun bermaksud baik, menunjukkan ketidakpahaman terhadap realitas yang dihadapi peternak susu. Widi Astuti, seorang peternak susu di area Merbabu,mengungkapkan kekecewaan atas komentar-komentar tersebut. “Hadeeeehhh, emang paling enak kalau nyacat dan cuma ngomong doang,” tulis Widi di akun media sosialnya.
Widi menjelaskan bahwa para peternak sudah melakukan berbagai upaya untuk memanfaatkan susu yang melimpah, termasuk menyalurkan sedekah susu ke panti asuhan dan panti jompo. “Tapi masalahnya adalah kuota susu banyaaaaakkkkkkkk sekali,” ungkap Widi. “Bisa bayangin gak sih kalau hampir satu gunung Merbabu itu warganya memelihara sapi perah semua? Bisa bayangin gak berapa ton susu yang diproduksi? Butuh berapa tanki? Butuh berapa alat transportasi? Berapa besar biayanya? Duitnya darrriiiii mannnaaaaaa???? Asli eneg banget dengan komen asal njeplak yg nyuruh nyedekahin susu.”
Widi juga menjelaskan bahwa menjual susu dengan harga murah bukanlah solusi. “Siapa yang mau beli susu berton-ton? Padahal kalau nggak cepet-cepet dijual dan dimasukkan ke freezer, susu bakal basi,” jelasnya. “Susu segar itu cepat basi. Sehingga butuh penanganan khusus jika harus dijual dalam jangka waktu lama dan jarak jauh.”
Terkait saran untuk mengolah susu menjadi produk turunan, Widi menegaskan bahwa hal tersebut membutuhkan waktu dan keahlian khusus. “Wooiiiiii Painem, belajar bikin produk turunan susu itu butuh waktu. Juga butuh keahlian tertentu. Bukan asal simsalabim langsung jadi,” tegasnya.
Widi mengungkapkan bahwa selama 10 hari terakhir, peternak susu di area Merbabu menangis karena setoran susu ke KUD dibatasi. “KUD membatasi jumlah setoran juga karena pabrik membatasi kuota setoran,” jelas Widi. “Dan ini semua gara-gara IMPOR SUSU !!!”
Widi menjelaskan bahwa 80% susu segar yang masuk pabrik adalah susu impor. “Jadi peternak lokal hanya mendapat jatah 20% saja,” ungkapnya. “Ngeri gak sih? Kayak jaman VOC aja. Bisa bayangin gak betapa nelangsanya peternak susu? Sudah capek-capek ngarit, mandiin sapi, mbersihin kandang, memerah susu pagi & sore terus setelah itu susunya nggak laku… Capek? Iya pastilah mereka capek lahir batin….nangis darah….serasa dikhianati oleh bangsa sendiri….”
Kisah pilu para peternak susu di area Merbabu ini menjadi cerminan dari kebijakan impor yang tidak berpihak pada produk lokal. Diharapkan, pemerintah dapat mengambil langkah tegas untuk melindungi para peternak susu dan meningkatkan daya saing produk susu dalam negeri. (MSN/NVN)