Boyolali, NVN – Pramono, seorang pengepul susu sapi perah dari Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Boyolali, menjadi sorotan karena terpaksa menutup usahanya akibat beban pajak yang tinggi. Kisahnya viral karena kontrasnya antara beban pajak yang dibebankan padanya dengan gaya hidupnya yang sangat sederhana.
Meskipun transaksi pembelian susu dari peternak bisa mencapai ratusan juta rupiah dalam sehari, Pramono dikenal sebagai sosok yang “sudah selesai” dengan urusan duniawi. Ia selalu mengenakan sandal jepit, tinggal di rumah sederhana peninggalan orang tuanya, dan tak memiliki mobil mewah. “Kagem nopo (Buat apa hidup mewah-mewahan). La wong semua (Hasil kekayaan) ini milik peternak semua,” ujar Pramono, pria bujangan berusia 67 tahun ini.
Pramono memang memiliki beberapa truk dan mesin cooler yang harganya tak murah, namun ia menganggap itu semua bukan miliknya, melainkan milik para peternak susu di Boyolali. Ia berpendapat bahwa tanpa alat-alat tersebut, perputaran uang peternak susu di Boyolali akan terhenti.
Namun, beban pajak yang mencapai Rp 670 juta membuat Pramono merasa terbebani dan akhirnya memutuskan untuk menutup usahanya. Lebih miris lagi, rekeningnya diblokir dan Rp600 juta miliknya disita oleh pihak berwenang. Ia kaget mendapat tagihan pajak tahun 2018, yang menurutnya sudah dibayarkan. Lelah karena tak mendapatkan kepastian soal jumlah pajak, ia memilih untuk menghentikan usahanya.
Kisah Pramono menjadi pelajaran penting bagi pengusaha kecil dan menengah di Indonesia. Beban pajak yang tinggi dan rumit, serta ketidakjelasan dalam proses perpajakan, dapat menjadi penghambat bagi kemajuan usaha. Kisah Pramono dapat menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem perpajakan agar lebih adil dan ramah bagi pengusaha kecil dan menengah. (MSN/NVN)