Jakarta, NVN – Sekelompok mahasiswa Fakultas Hukum mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 100 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Permohonan tersebut telah diregistrasi secara resmi pada 30 Desember 2025 dengan Nomor Registrasi Perkara 281/PUU-XXIII/2025, dan diterima pada pukul 13.00 WIB.
Para pemohon merupakan Warga Negara Indonesia yang seluruhnya berstatus mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Terbuka, yakni Vendy Setiawan, Novita Ayu Fitriani, Sofin Arifani Putri, Pangestu Sarah Agipari, Aulia Ananta Setiawan, Lola Pebriana, Zerlina Keyla Maryam, dan Iis Rahmawati. Para pemohon menyatakan memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena berpotensi mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 100 KUHP, khususnya terkait ketidakpastian hukum, perlakuan tidak setara, serta potensi kesewenang-wenangan dalam penerapan hukuman mati dengan masa percobaan.
Dalam perkara ini, para pemohon memberikan kuasa hukum kepada tim advokat dari LEO & PARTNERS berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 22 Desember 2025, yaitu Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, Leon Maulana Mirza Pashka, Priscilla Octaviani, Ratu Eka Shaina, Gusti Putu Agung Cinta Arya Dindingrat, dan Dody Pradipto YS, yang bertindak secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama para pemohon dalam seluruh proses persidangan di Mahkamah Konstitusi.
Menanggapi langkah konstitusional tersebut, Ketua Umum Molekul Pancasila, Dody Pradipto YS, menyampaikan apresiasi yang tinggi. Ia menegaskan bahwa inisiatif mahasiswa menguji norma hukum ke Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari tanggung jawab intelektual dan moral insan hukum.
Menurutnya, praktisi hukum mengemban amanah sebagai Profesi Mulia (Officium Nobile), sehingga dituntut untuk peka terhadap keadilan, terutama ketika berhadapan dengan norma hukum yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan dalam praktik.
Dalam permohonannya, para pemohon menilai Pasal 100 ayat (1) dan ayat (4) KUHP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, karena memuat frasa-frasa yang tidak memiliki definisi hukum yang jelas, seperti “rasa penyesalan”, “harapan untuk memperbaiki diri”, serta “sikap dan perbuatan terpuji”.
Ketidakjelasan norma tersebut dinilai membuka ruang penafsiran subjektif, menimbulkan ketidakpastian hukum, serta berpotensi melanggar prinsip negara hukum dan persamaan di hadapan hukum.
Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan menjadwalkan sidang pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan permohonan, kedudukan hukum para pemohon, serta kewenangan Mahkamah sebelum memasuki pemeriksaan pokok perkara. Perkara ini dinilai memiliki arti penting karena menyangkut kepastian hukum pidana, perlindungan hak asasi manusia, serta masa depan pengaturan hukuman mati dalam sistem hukum nasional. (MSN/NVN)
