Medan, NVN — Kelapa sawit, komoditas penting yang mendominasi perekonomian Indonesia, ternyata memiliki sejarah panjang dan menarik. Perjalanan tanaman ini dari sekedar tanaman hias hingga menjadi raja komoditas, penuh dengan pasang surut dan dinamika. Mari kita telusuri jejak kelapa sawit di Indonesia:
Awal Mula: Benih dari Negeri Belanda
Sejarah kelapa sawit (Elaeis guineensis) di Indonesia bermula pada tahun 1848. Empat biji kelapa sawit, dua dari Bourbon, Mauritius, dan dua lainnya dari Hortus Botanicus, Amsterdam, Belanda, dibawa oleh Dr. D. T. Pryce dan ditanam di Kebun Raya Bogor. Di bawah pengawasan Johanes Elyas Teysman, keempat benih tersebut tumbuh subur, menjadi pohon kelapa sawit tertua di Asia Tenggara. Pohon tersebut mencapai ketinggian 12 meter dan menghasilkan buah pertama kali pada tahun 1853.
Penyebaran dan Perkembangan
Biji-biji dari pohon kelapa sawit di Kebon Raya Bogor kemudian disebar secara gratis, termasuk dibawa ke Sumatera pada tahun 1875. Tanaman ini tumbuh subur di Deli, Sumatera Utara, dan dikenal sebagai kelapa sawit “Deli Dura”.
Awalnya, kelapa sawit tidak mendapat perhatian besar dari orang Belanda. Minyak kelapa lebih dikenal pada masa itu. Namun, revolusi industri di Eropa pada abad ke-18 mendorong lonjakan permintaan minyak, sehingga pemerintahan Hindia Belanda mencoba menanam kelapa sawit di beberapa tempat, seperti Banyumas, Palembang, dan Banten. Namun, hasilnya kurang memuaskan karena kondisi iklim yang tidak sesuai.
Era Perkebunan Modern
Tahun 1911 menandai dimulainya era perkebunan kelapa sawit modern di Indonesia. Adrien Hallet dari Belgia dan K. Schadt mendirikan perusahaan Sungai Liput Cultuur Maatschappij di Pantai Timur Sumatra (Deli) dan Sungai Liat, Aceh, dengan luas 5.123 hektare.
Pada tahun 1910, organisasi perusahaan perkebunan bernama Algemene Vereneging voor Rubberpalnters ter Oostkus van Sumatera (AVROS) berdiri di Sumatera Utara dan Rantau Panjang, Kuala Selangor. AVROS menaungi berbagai perusahaan perkebunan untuk menghadapi tantangan bersama, seperti kekurangan pekerja, komunikasi dengan pemerintah, dan masalah transportasi.
Perkembangan Pasca Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, Indonesia terus mengembangkan industri kelapa sawit. Perusahaan-perusahaan perkebunan asing yang telah beroperasi di Indonesia, seperti Socfindo dan London Sumatra Indonesia (Lonsum), tetap beroperasi dan bahkan berkembang pesat.
Socfindo, yang awalnya dimiliki oleh Plantation Nord Sumatra (PNS Ltd) dan Republik Indonesia, mengalami perubahan kepemilikan saham hingga akhirnya menjadi milik PNS Ltd 90% dan Republik Indonesia 10% pada tahun 2001.
Lonsum, yang didirikan oleh Harrisons & Crosfield Plc pada tahun 1906, mengalami beberapa kali pergantian kepemilikan hingga akhirnya dikuasai oleh Indofood Agri Resources Ltd melalui PT Salim Ivomas Pratama pada tahun 2007.
Bakrie Sumatera Plantations: Dari Karet ke Sawit
Bakrie Sumatera Plantations, yang awalnya bernama Naamlooze Vennootschap Hollandsch Amerikaansche Plantage Maatschappij (perusahaan perkebunan karet), mengalami beberapa kali pergantian nama dan kepemilikan hingga akhirnya dikuasai oleh PT Bakrie & Brothers pada tahun 1985. Perusahaan ini kemudian berfokus pada perkebunan kelapa sawit, dan kini memiliki area perkebunan inti seluas 43.262 hektare dan perkebunan plasma seluas 14.976 hektare di berbagai wilayah di Indonesia.
Kelapa Sawit: Raja Komoditas Indonesia
Perjalanan panjang kelapa sawit di Indonesia membuktikan bahwa tanaman ini mampu beradaptasi dan berkembang pesat di tanah air. Dari tanaman hias, kelapa sawit menjelma menjadi komoditas utama yang memberikan kontribusi besar bagi perekonomian Indonesia. Namun, perkembangan industri kelapa sawit juga tidak terlepas dari berbagai tantangan, seperti isu lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Ke depan, perlu ada upaya untuk memastikan bahwa industri kelapa sawit di Indonesia berkembang secara berkelanjutan, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dan lingkungan tetap terjaga. (MSN/NVN)