Pacta Sunt Servanda: Prinsip yang Menjaga Ketertiban Dunia

Jakarta, NVN — Prinsip pacta sunt servanda, yang berarti “perjanjian harus ditepati” dalam bahasa Latin, merupakan dasar hukum internasional. Prinsip fundamental ini menyatakan bahwa negara-negara terikat oleh perjanjian internasional yang mereka setujui secara bebas. Ketika sebuah negara menjadi pihak dalam perjanjian internasional, negara tersebut menyatakan kesediaannya untuk terikat oleh ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut. Akibatnya, ketentuan-ketentuan ini berlaku di wilayah negara yang menandatanganinya.

Pada dasarnya, prinsip ini menekankan sifat mengikat dari perjanjian, mengharuskan para pihak untuk memenuhi kewajiban mereka dengan itikad baik. Prinsip ini tercantum dalam Pasal 26 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969. [2]

Contoh Kasus:

  • Perjanjian Perdagangan Bebas: Misalnya, dalam perjanjian perdagangan bebas, negara-negara yang terlibat sepakat untuk menghapuskan tarif dan hambatan perdagangan lainnya. Prinsip pacta sunt servanda mewajibkan negara-negara tersebut untuk mematuhi kesepakatan ini dan tidak menerapkan kembali tarif atau hambatan perdagangan yang telah dihapuskan.

Meskipun pacta sunt servanda merupakan landasan hukum internasional, terdapat beberapa pengecualian. Misalnya, jika isi perjanjian bertentangan dengan jus cogens, norma peremptory hukum internasional yang tidak dapat dilanggar dalam keadaan apa pun, prinsip ini dapat dikesampingkan. [3]

Contoh Kasus:

  • Perjanjian yang Melanggar Hak Asasi Manusia: Jika sebuah perjanjian internasional berisi ketentuan yang melanggar hak asasi manusia, seperti perbudakan atau penyiksaan, prinsip pacta sunt servanda tidak berlaku. Hal ini karena jus cogens melarang pelanggaran hak asasi manusia, dan perjanjian yang melanggar norma ini tidak sah.

Selain itu, prinsip clausula rebus sic stantibus, seperti yang tercantum dalam Pasal 62 Konvensi Wina tahun 1969, memungkinkan negara untuk mengakhiri perjanjian jika terjadi perubahan mendasar dalam keadaan yang menjadi dasar persetujuan negara untuk terikat oleh perjanjian tersebut. [4] Pengecualian ini berlaku ketika perubahan keadaan secara signifikan mengubah kewajiban di bawah perjanjian, sehingga menjadi sangat berbeda dari yang semula dimaksudkan.

Contoh Kasus:

  • Perjanjian Lingkungan: Jika sebuah perjanjian lingkungan ditandatangani berdasarkan asumsi tertentu tentang kondisi lingkungan, dan kondisi tersebut berubah secara drastis (misalnya, karena perubahan iklim), negara yang terlibat mungkin dapat mengakhiri perjanjian tersebut berdasarkan clausula rebus sic stantibus.

Prinsip pacta sunt servanda memainkan peran penting dalam menjaga ketertiban dan stabilitas dalam sistem internasional. Dengan memastikan bahwa negara-negara mematuhi komitmen mereka, prinsip ini mendorong kepercayaan dan keterprediksi, memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian sengketa secara damai. (msn/nvn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *